People
Rudi adalah karyawan bank besar di Indonesia. Dengan prestasi dan rekam jejak yang bagus, dirinya mudah untuk menduduki posisi struktural. Suatu hari kantor pusat menunjuk dirinya untuk memimpin sebuah kantor cabang, di mana dia menjadi pimpinan tertinggi di cabang tersebut. Bagi Rudi, hal ini merupakan jawaban atas doanya selama ini, di mana dia diberikan tanggung jawab yang lebih besar, serta merupakan awal karir untuk menjadi pemimpin yang lebih besar.
Tantangan mulai muncul saat dirinya memimpin cabang. Masalahnya bukan hanya soal hal teknis, akan tetapi orang-orang yang menjadi timnya sangat beragam. Mayoritas anggota yang dipimpinnya berusia antara 26 hingga 30 tahun. Di satu sisi Rudi merasa senang karena timnya masih muda-muda dan energik, akan tetapi di sisi lain mereka dirasa kurang bisa membaur satu sama lain, sehingga timbul banyak potensi konflik.
Pengertian “leadership” sebenarnya punya arti lebih luas dari sekadar jabatan atau posisi. John C. Maxwell mengatakan “Leadership is not about titles, positions, or flowcharts. It’s about one life influencing another”. Ada juga yang mengatakan bahwa “Leadership is about behavior” atau “Leadership is about relationships”.
Pemimpin yang berhasil akan melakukan proses ini melalui kepiawaiannya dalam berkomunikasi dan membina hubungan dengan orang lain. Dengan perkembangan teknologi saat ini, untuk bisa menjadi pemimpin yang berhasil menjadi semakin kompleks.
Menjadi pemimpin di era sekarang, seperti menanjak sebuah bukit yang terjal, dan terkadang harus merasakan turunan tajam serta batu-batu yang licin. Anda bisa tergelincir jika tidak menguasai diri. Ada begitu banyak tantangan yang dihadapi pemimpin, terutama ketika berhadapan dengan orang lain.
Saat kerjasama yang terjalin antara pemimpin dan tim nampak solid, tantangan akan terasa lebih ringan. Seperti sebuah peribahasa yang mengatakan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka timbul lah konflik, sehingga atmosfer kerja dalam tim menjadi tidak bersahabat. Ini tentu akan sangat menguras tenaga bahkan pikiran.
Zaman terus berubah, pemimpin pun dituntut untuk menyesuaikan dengan segala perubahannya. Maraknya teknologi yang menawarkan artificial intelligent, seperti robot pintar dan berbagai macam aplikasi di smartphone, justru mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Sikap malas, egois, dan perilaku serba instant merupakan beberapa sikap negatif yang melekat pada mayoritas manusia milenial. Dengan banyaknya perusahaan yang saat ini para pekerjanya berasal dari generasi milenial, tak heran jika banyak perusahaan mulai berfokus terhadap kinerja generasi milenial.
Menjawab tantangan di atas, seorang pemimpin perlu membekali diri dengan kemampuan yang spesifik, yaitu:
Pertama, memahami teknologi. Pemimpin yang melek teknologi akan disukai oleh generasi milenial, karena mampu berkomunikasi dan bertukar informasi dengan cara yang mereka sukai, yakni memanfaatkan teknologi. Pemimpin akan lebih mudah berkoordinasi dan berkomunikasi dengan anggota timnya.
Kedua, menciptakan budaya kerja yang positif. Untuk meningkatkan produktivitas pekerja atau kinerja tim, budaya dalam sebuah perusahaan perlu mengalami sebuah perombakan ke arah yang positif. Generasi milenial menginginkan lingkungan pekerjaan yang menyenangkan, merasa diterima, tidak membosankan dan tentu saja akan membuat mereka termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Membangun atmosfer budaya seperti ini diperlukan kerja sama antara para anggota dan utamanya inisiatif dari pemimpin untuk menciptakan suasana yang kondusif dan bersahabat dalam sebuah organisasi.
Ketiga, inclusive. Secara istilah, inclusive diartikan sebagai memasuki cara berpikir orang lain dalam melihat suatu masalah. Pemimpin yang inclusive dibutuhkan di era milenial dikarenakan perbedaan cara pandang antar individu yang semakin kompleks. Era dimana informasi semakin mudah diakses sehingga membentuk pola pikir yang berbeda. Selain itu, kaum milenial yang menganut nilai-nilai seperti transparansi dan kolaborasi dalam hidup mereka. Sehingga pemimpin tidak lagi bertindak sebagai “bos”, melainkan leader, mentor, dan sahabat bagi anggota timnya.
Keempat, aktif mendengar. Pemimpin di era milenial harus bisa menjadi observer dan pendengar aktif yang baik bagi anggota timnya. Kaum milenial akan sangat menghargai dan termotivasi jika diberikan kesempatan untuk berbicara, berekspresi, dan diakomodasi ide-idenya oleh perusahaan. Mereka haus akan ilmu pengetahuan, pengembangan diri dan menyukai berbagi pengalaman.
Bayu Setiaji
Learning Chief of Tribe
Jika ada informasi yang ingin ditanyakan, silakan Chat WA Customer Service & Social Media kami:
Subscribe our latest insight and event
FOLLOW US
© 2024 ONE GML Consulting